Mulut Satu Dengan Seribu Tangan


Negeri  itu menjadi kacau semenjak pergantian raja lama. Bukan malah menjadi lebih baik, justru menjadi semakin terpuruk. Tahtanya menjadi raja bukanlah merevolusikan kondisi di negeri ini. Musim paceklik telah datang, para petani kuatir  tanamannya akan gagal panen lagi. Lahan menjadi semakin kering dan tanaman-tanaman di sawah terlihat mulai menguning. Air sumur juga sudah semakin dalam.
Belum lagi berita yang sedang menimpa saudara-saudara di pulau seberang: Kalimantan, Riau, dan Sumatra. Hanya segelintir orang yang memakan nangka, namun ribuan orang kena getahnya. Ibarat sebuah lubang yang digali kemudian ditutup kembali. Api dari kebakaran hutan itu terus merambat ke bagian-bagian yang lain, sehingga kebakaran itu semakin hari makin merambah ke mana-mana. Di hadapan rakyat mereka memanggil seratus pemadam kebakaran untuk memadamkan kobaran api yang terus menyala namun di belakang, mereka berlaku sebaliknya. Seakan-akan api itu mereka padamkan dengan gas sehingga bukan justru padam apinya, tapi malah merambat ke bagian-bagian lain.
Dampak dari semua itu adalah kangker paru-paru yang menyerang ribuan warga, bukan hanya anak-anak remaja, dewasa, orang tua, bahkan anak-anak kecil yang baru lahir pun harus masuk ke ruangan inkubator hanya untuk melindungi dadanya yang masih sensitif. Aktivitas sekolah diliburkan bukan berdasarkan tanggal merah melainkan cuaca yang tercemar tiap harinya. Asap yang semakin tebal juga membuat para pekerja terbata-bata untuk mencari nafkah. Lalu dengan cara apa mereka melanjutkan hidup,  sementara usaha yang biasanya mereka lakukan setiap hari untuk bisa menyambung hidup mereka justru terhenti. Pemerintah masih berpikir untuk mengulurkan tanganya kepada mereka-mereka yang membutuhkan. Di mana media massa? Bukankah sudah menjadi tugas pers untuk menceritakan pada dunia bahwa inilah orang-orang yang membutuhkan pertolongan, namun kenyataan yag terlihat jauh berbeda, media meliput berita-berita pertandingan sepak bola.
            Rakyat di desa itu sudah mulai susah menemukan air bersih. Kekuatiran rakyat menjadi-jadi. Andaikan raja lebih memerhatikan nasib kami, mungkin tidak akan terlunta-lunta seperti ini. Rakyat mulai merasakan penyesalan karena telah memilihnya sebagai pemimpin negeri. Kesengsaraan seakan tak ada putus-putusnya, tak kunjung berakhir selama dia menjadi pemimpin negeri ini.
Entah sihir apa yang ia miliki  sehingga setiap perkataannya selalu terdengar elok di telinga rakyat. Setiap pidatonya selalu mendapat teriakan histeris dari rakyat, dengan embel-embel “kebahagiaanku adalah kesejahteraan rakyatku!”
Kesejahteraan mana yang ia maksud? Semenjak dia menjadi raja banyak sekali kekacauan, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, penipuan, dan berbagai tindakan kriminal lainya.
Aku dan rakyat lain menjadi korban dari kebijakan-kebijakannya yang mencekik. Setelah dilantik, untuk menjadi raja di negeri yang bersimbol merah putih ini, beasiswa untuk mahasiswa yang kurang mampu justru dicabut. Sementara ayahku hanya seorang tukang koran dan ibuku bekerja sebagai tukang jahit di rumah.
* * *
Setiap pulang dari kuliah, aku mampir di perempatan ujung jalan di dekat  kampusku. Untuk  melihat adakah sisa koran yang belum terjual.  Tidak tega rasanya kalau melihat ayahku harus menawarkan koran-koran itu sendirian, ditingkah terik dan sengat matahari yang menyilaukan pandangan. Kadang aku tersenyum kesal karena setiap membaca koran-koran itu isinya hanya orang-orang yang mencari sensasi. Mengumbar-umbar dusta dengan lidah mereka yang lincah. Kadang aku berpikir apa yang salah dengan pemimpinku ini, bukankah beliau ini telah diamanahkan oleh rakyat untuk menjaga negeri dari serangan dan ancaman negeri lain, serta melindungi rakyat yang tertindas. Sekalipun aku bukanlah orang yang mengerti politik, tapi adakah kebijakan yang lebih menyengsarakan rakyat selain kebijakan yang mengatasnamakan kesejahteraan yang picik dan carut-marut begini? Tuan rumah membukakan pintu selebar mungkin untuk pengunjung dan menutup pintu serapat  mungkin untuk penghuni rumah.
Setiap kami mengadu nasib ke negeri tetangga, selalu dipandang rendah dan di remehkan. Namun kedatangan mereka di negeri ini selalu disambut manis oleh seisi negeri kami. Apa ukurannya materi? Bukankah pajak rakyat sudah cukup tinggi? Bukankah aktivitas negeri ini dapat berjalan karena sebagian uang itu datangnya dari rakyat? Wahai rajaku di mana kau letakkan nuranimu, sehingga penderitaan rakyatmu tiada kunjung berakhir. Mana janji kesejahteraan yang kau katakan, seluruh kekayaan negeri ini tidak kami rasakan nikmatnya hanya karena kebijakanmu yang merusak dan mengorbankan rakyat.
* * *
Sebagai  seorang mahasiswa tugasku adalah menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Selain itu, aku juga bertanggung jawab atas keempat adik-adikku yang masih butuh biaya untuk melanjutkan pendidikanya. Namun semakin hari aku merasa bahwa penjualan koran ayahku semakin menurun, dan penerimaan jahitan ibuku juga semakin berkurang, ditambah ibuku dua minggu terakhir sering sakit-sakitan. Jadi aku menggantikan ayahku menjual koran dan beliau terpaksa harus mencari pekerjaan lain, yang bisa memberikan penghasilan lebih.
Sialnya lapangan pekerjaan tidak mudah ditemukan di daerahku ini. Ayahku hanya lulusan SD saja, beliau tak terlalu mengerti dunia pendidikan, yang beliau tahu adalah aku bersekolah kemudian mendapatkan nilai yang bagus. Hal itu cukup membuatnya percaya dan selalu bersemangat membiayai pendidikanku.
Sakit memang. Apalagi mengingat, kami rakyat kecil semakin hari semakin tertindas dengan kondisi negeri ini. Ditambah harga sembako terus melonjak. Banyak anak-anak kurang mampu terputus sekolahnya lantaran biaya. Kartu kesehatan yang kau  janjikan untuk meringankan biaya kesehatan ternyata tak menjaminkan apa-apa.
* * *
Naasnya pada saat itu sedang musim penyakit demam berdarah, jadi banyak sekali warga-warga yang harus dirawat di rumah sakit untuk mendapat penanganan serius dari dokter. Salah satu pasien yang terkena DBD waktu itu adalah adikku. Sudah jelas akan menambah pengeluaran biaya untuk rawat inap, dan obat-obatan, karena selain harus menebus obat untuk ibuku, ayahku juga menanggung kebutuhan kami setiap hari. Mulai dari sandang, pangan, dan papan. Serta biaya pendidikan adik-adik ku, dan biaya kuliah ku. Melihat kondisi keluargaku yang terpuruk saat ini rasanya tidak mungkin bagi ku untuk melanjutkan kuliah lagi. Sudah 1 bulan ini aku tidak muncul di kampus. Setiap pagi aku sibuk membantu ayah ku menjual koran dari Tribun. Sementara ayah ku bekerja sampingan untuk menjadi kuli di sebuah gedung besar. Walau ayah ku tetap menanyakan kuliah ku, aku berusaha untuk menyangkalnya. Jadi selain bekerja menjual koran aku juga partime di sebuah resto menjadi seorang waiter. Namun semua itu tetap saja tak mencukupi biaya rumah sakit adek ku. Keesokan harinya aku menghubungi teman ku Risma. Dia adalah teman dekatku dan orang yang selalu setia mendengarkan cerita-cerita tentang pahit getirnya kehidupan ku.
 “maksudku kesini adalah untuk menggadai leptopku Ris”
Risma tampak heram melihat aku  yang sekarang. Bukan hanya badan ku yang terlihat kurusan, raut wajahku yang semerawut dan memilukan.
“kamu sebulan ini kemana ? kok engga ada kabar?”
“panjang ceritanya Ris, sekarang aku benar-benar butuh duit jadi aku ingin mengadai leptop ku”
Tidak hanya itu, aku juga menjuala Hp samsung android ku kemudian kuganti dengan Hp nokia biasa, aku juga mengajarkan les privat untuk anak-anak SD, mengajar TPA tiap sorenya.
Singkat cerita, dengan segala upaya, sejumlah uang terkumpul untuk membiaya rumah sakit adek ku.
Beberapa bulan kemudian....
Liburan telah berlalu, musim kuliah segera datang. Namun sepertinya semster 2 kemarin adalah terakhir aku bisa merasakan bangku perkuliahan setelah banyak biaya yang harus di habiskan ayah ku untuk keperluan ini dan itu, jadi berhenti adalah jalan untuk meringankan beban orang tua ku. Malem pada setelah selesai solat isa, perlahan aku mendekati  ayah ku yang sedang duduk di depan teve. Menonton berita tentang pernikahan anak raja yang mengundang 2015 tamu undangan. Canggung rasanya kalau harus merusak mood ayah, tapi ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengatakanya.
“mulai semster ini dan dan seterusnya aku akan bekerja saja, membantu ayah”
Ucapan ku yang spontan tak memberikan respon apa-apa beliau, sejenak beliau memandang ku dengan muka lemas, tak sepatah katapun yang ayahku katakan beliau lansung keluar.
Aku sendiri masih bimbang. Namun inilah pilihan yang paling tepat, penasaran dengan jawaban ayah aku mengikutinya keluar, baru kulangkahkan kaki kiri ku untuk keluar menemui ayah. Ku urungkan nitaku setelah melihat ayah ku yang menangis isik. Di balik pintu yang sudah tua itu aku mengintip, beliau menangis isih.
Tiada hal yang bisa aku lakukan, untuk mengobati sakit hati ayahku, baru kali ini aku melihat ayah ku menangis karena keputusanku yang sepihak. Beberapa hari ayahku mendiamkan aku, ia bersikap dingin terhadap ku, ia tak menampakan bahwa sebarapa besar rasa marah dan kecewanya, namun bisa kulihat dari sikapnya yang terus menjauh dariku. Ibu juga bersikap demikian padaku, tidak ada yang perlu untuk di bicarakan, karena keadaan tak akan dapat kembali keposisi awal. Biarlah seperti ini. jika semua ini adalah kesalah pahaman, biarkanlah waktu yang menjelaskan kepada keduanya. Cukup sudah beban yang mereka pikul selama ini. karena rasa kagum dan banggaku kepada mereka yang telah memebsarkan 5 orang anak hanya dengan hidup yang sederhana, namun kasih sayang yang berlimpah ruah.  
“Maafkan aku”
1 september 2015...

You Might Also Like

0 komentar