Diantara
semua Ibu di dunia ini, pernahkah teman teman sekalian mendengarkan secara
lansung atau membaca dari buku buku cerita tentang ibu kandung yang
menginginkan hal buruk terjadi pada anaknya. Aku selama 21 tahun menyelami kehidupan,
dan selama itu aku hidup dengan asuhan dari Ibuku. Aku mencintai Ibuku, tidak
akan aku deskripsikan secara detail bagaimana aku mencintainya. Karena aku
mencintai seluruh yang ada pada dirinya. Begitulah aku mencintai Ibu. Kurasa
penjelasan itu cukup untuk membuatmu mengerti.
Hidupku di desa disuatu Pulau, terbilang jauh dari
perkotaan, dapat aku hitung berapa kali kami mengunjungi kota dalam setahun.
Paling hanya untuk membeli keperluan besar yang tidak terjual di kota
kabupaten. Orang orang di desaku ini, hanya sedikit yang dapat menikmati
pendidikan sampai tingkat universitas. Kebanyakan dari mereka hanya lulusan SMA
dan setara lalu setelahnya pilihanlah yang menentukan pola hidup mereka. biaya
menjadi alasan utama, lainya minat mereka terhadap dunia pendidikan memang
kurang. Salah seorang temanku di kampung pernah bilang untuk apa sekolah walau
pada akhirnya kita hanya akan menjadi tukang cangkul, walau akhirnya kita hanya
akan pergi kesawah untuk mencari rumput untuk hewan piaraan kita.
Pergaulan, ada banyak jenis macam pergaulan di lingkungan
ini, ada gerombolan cowok playboy dan
cewek playgirl, kelompok orang orang
kalem yang pekerjaanya hanya pagi datang kesekolah dan malam pergi ke TPQ. Ada
juga yang kerjaanya hanya duduk duduk nongkrong lalu berkumpul hanya untuk
berdiskusi tentang kisah percintaan mereka. ada yang hubunganya terancam bubar,
tidak direstui, ada yang diselingkuhi ada juga yang sudah tidak dicintai lagi. Banyak
juga anak anak yang seusiaku dan
dibawahku sudah berstatus menikah, janda dan duda. alasanya, karena tidak ada
kegiatan positif yang mengisi keseharian mereka selain sekolah, wajar saja
kalau mereka doyan berpacaran lalu menikah di usia mentah. Anak anak muda yang
diharapkan sebagai penggerak program yang bermanfaat untuk anak anak remaja sibuk dengan hidup mereka masing masing. Ada
yang pergi menjadi TKI, menikah dan sibuk mengurusi rumah tangga ada juga yang
sekolah sampai tingkat Universitas tetapi mereka dalam perantauan. Hanya pulang
ketika ada libur panjang.
Ayahku hanya lulusan SMA sedangkan Ibuku hanya lulusan
SMP, wajar keduanya khawatir akan masa
depan anaknya jika terlalu sering main dengan gerombolan gerombolan itu, nasib
perekomian keluargaku rata rata sama dengan orang orang yang tinggal di desa. Namun
berkat kegigihan ayahku untuk bekerja mengumpulkan biaya untuk menyekolahkanku
sampai ketingkat universitas di luar kota dan Ibuku yang banting tulang untuk
biaya hidup kami. Aku bisa merasakan dunia pendidikan tinggi ini.
Selama aku duduk disini, di pendidikan tinggi ini. aku
berusaha akan banyak hal salah satunya adalah bagaimana agar aku bisa membuat
hidupku berbeda dengan mereka yang hanya bersekolah sampai tahap SMA. Baik cara
pandang terhadap kehidupan dan materi, demikian Ibuku terus menyemangetiku
dengan menyuruhku rajin rajin belajar. sedangkan ayahku orang yang sangat bijak
sering memberikan petuah kehidupan. Ayahku seorang pekerja keras dan ibuku
seorang penggiat. ada yang pernah
mengatakan bahwa kesuksesan seseorang tidak dapat membutuhkan kepintaran tetapi ditempuh
melalui kerja keras dan tekun.
Semakin lama, aku aku mulai bisa berdiri sendiri, Ibuku
mulai memiliki mimpi mimpi tentang bagaimana masa depan yang harus aku tempuh
kelak, aku harus begini aku harus begitu. Aku tidak boleh begini dan begitu,
sebagai anak aku memahami akan sikap Ibuku yang seperti itu. kuandalkan
kebijakan untuk menghadapi ibuku, setiap ia menelponku selalu ia berbicara
tentang aku harus begini dan begitu. Sesekali aku mengatakan apa yang aku
inginkan kepada Ibuku bagaimana aku ingin menjalani kehidupan. Namun tanggapan
Ibuku Seperti kentut numpang lewat.
Ibuku tidak pernah melarang kegiatanku selama itu positif
dan bermanfaat, namun yang membuatku sering merasa iba ketika ibu sering
bertanya dengan polosnya tentang mimpi mimpi yang ia tanamkan padaku. Lalu
seawaktu waktu menanyainya. Sedangkan yang Ibuku inginkan bukanlah menjadi
jalan yang ingin aku lalui. Dulu, memang aku memiliki mimpi yang demikian ibuku
inginkan namun, setelah aku melalui proses kehidupan di dunia pendidikan ini
waktu membentuku sesuai dengan jati diri yang kutemukan. Sesekali aku
menyuarakan rasa protesku kepadanya. Yang terjadi justru adu pendapat yang
berkahir dengan perang dingin. Kemudian tinggalah rasa bersalah yang menggunung.
Aku yang salah.
Sesekali sebut saja aku mengguri Ibuku, dengan berdalih
menggunakan statusku sebagai mahasiswa, kudeskripsikan mimpi mimpiku, bukan
mimpi Ibuku. Aku memberikanya logika yang lebih mudah untuk diterima, namun
bentuk kekhawatiran seorang Ibu kepada anaknya, entengnya mengatakan “yang kamu
lakukan saat ini itu tidak memiliki masa depan yang jelas”. Andai kata Ibuku
menyiapkan rencana A untuk menghadapi masa depan lalu aku memiliki rencana B.
maka rencana A adalah pilihan mutlak yang harus aku tempuh.
Pikirku, dari apa yang ibuku lakukan saat ini adalah, ia
hanya ingin mewujudkan mimpi yang tertunda melalui putri kecilnya dengan
harapan masa depan yang ia maksud akan datang menemuiku.
0 komentar