#2 Mr. Y

         
  Kami tak saling mengenal dengan baik. Bahkan kami buta akan latar belakang satu sama lain. Hanya bertemu beberapa kali setelah dongeng malam itu. setiap kali kami bertemu selalu ada waktu untuk saling berbagi cerita.
            Ada hal yang tidak aku menyadarinya tetapi ia melihatku dari hal tersebut. Tak pernah ada pertemuan sebelumnya antara aku dan dia namun ceritanya mengalir. Ia bercerita seperti  sedang mengadu perasaan kepada teman sebelahnya. Ia, itu aku. Setelah lama kedua orangtuanya bercerai tempat tinggalnya menjadi tak jelas. Semasa usianya ia tinggal bersama pamanya. Ia pun menyadari kesan tinggal dirumah yang bukan orangtua, tak begitu banyak kasih sayang yang diperoleh dari keluarga pamanyaa. Justru kadang kadang sebaliknya.  
“Sejak SMP aku sudah mulai bekerja sampingan, sampai aku wisuda pun aku masih kerja sampingan” tandasnya
            Aku menoleh kearahnya, dan membuang muka lagi. Tak banyak respon dariku. Sementara ini aku masih menjadi pendengar setia.
            Setelah aku lulus kuliah, aku tinggal bersama mamahku. Tetapi, tak lama setelahnya papaku memintaku untuk pulang kerumahnya. Dengan segala alasanya ia gunakan untuk dapat menarikku tinggal dirumahnya. Akhirnya aku terpaksa keluar dari pekerjaanku dan aku pulang kerumah papahku. Entah papahku menyadarinya atau tidak,  terkadang aku jarang pulang kerumah. Anggap saja aku tidak betah tinggal di rumah real estate. karena itu, aku lebih sering pulang kerumah eyangku. Beliau adalah satu satunya teman curhat yang paling nyaman bagiku untuk melepas penatnya menahan lelah. Jarang beliau bertanya apa masalahku, namun beliau hanya mendengarkan cerita dan keluh kesahku.  
            Kian dari hari hari, aku mulai bergaul bersama orang orang dengan kehidupan serba bebas. Aku merasa nyaman dengan mereka. pernah berpikir kalau aku akan menjadi bagian dari mereka yang telah menyerah terhadap kehidupan, mereka telah bersedia menjadi budak perkembangan zaman. Siapa yang perduli. Papahku? Kurasa seluruh pikiranya terkuras hanya untuk memikirkan bagaimana cara, agar bisnisnya tetap jalan. Dan aku hidup sesuka hatiku. Sering kali ketika pulang dari jalan dengan teman temanku, di jam pagi, bahkan tidak pulang pun tidak jadi masalah. Aku merasakan kebebasanku lebih membawa makna kepadaku. Sekalipun hanya satu persen makna yang kuperoleh aku tetap menikmatinya.
            Selama aku hidup dijalan, tunggang langgang. Banyak pengalaman getir sampai berbahaya pernah  kutemui. Dan anehnya sampai sekarang hidupku masih baik baik saja. Pernah memiliki cita cita mati lebih cepat, agar aku bisa istirahat dengan tenang. namun bukan dengan bunuh diri. Bagiku itu terlalu hina untuk seorang pujangga mati dengan cara bunuh diri. Sepertinya cita cita itu belum terwujud sampai sekarang.  Entah kepada siapa aku harus melihat, karena aku rasa semua orang yang aku butuhkan telah memiliki kehidupan mereka masing masing.
            Papahku? Entah apa kabar bisnisnya. terlalu pengecut rasanya kalau hanya menyalahkan sepihak saja. Inilah bentuk takdir yang tengah dituliskan kepada pria malang sepertiku. Inilah bentuk kepasrahanku terhadap hidup. Aku dilahirkan hanya untuk menyaksikan betapa hebatnya kehidupan rumah tangga keluarga yang telah pecah ini. dan selama hidupku aku tak pernah terlalu banyak menuntuk kepada kedua orangtuaku. sebagai bentuk rasa pengertianku kepada kedua orangtua yang kini telah sama sama memiliki keluarga baru.
            Aku tak perduli, bagaimana orang menilai kehidupanku. Karena bagiku, hidupku sendiri tidak pernah memiliki nilai. Waktu itu, aku pernah memiliki seorang kekasih. Ia cukup baik dan mengerti dengan kondisiku. Kuanggap dia menerimaku apa adanya, hubunganku denganya berjalan empat tahun lamanya. Maka satu satunya orang yang membuatku terus untuk bertahan menjalani kehidupan dan semangat dalam hal pekerjaan adalah ia, orang yang kusebut sebagai kekasih. Wajar saja seusia kami yang sama sama sudah dewasa ini, ia menuntut untuk jenjang hubungan yang lebih serius. aku pun juga meras demikian. Tidak mungkin aku akan terus menjalani hubungan tanpa komitmen begini.
            Aku meminta izin kepada papahku, perkara kelanjutan hubunganku dengan kekasihku. Namun, sayang papaku menolak keras lantaran kami belum memiliki kehidupan yang mapan, kala itu , ia yang saat ini menjadi mantan kekasihku. Belum memiliki pekerjaan setelah ia selesai wisuda. Sambil menunggu dirinya mendapat pekerjaan kami berdua harus lebih bersabar. Tetapi dalam jangka satu tahun ia belum juga mendapat pekerjaan. Ia semakin mendesakku untuk menikah, namun aku tak bisa berbuat apa apa selagi kartu hijauku belum keluar. Kami menjadi sering berantam, ia  sering marah tanpa alasan yang jelas kepadaku. Aku sendiri kualahan dalam situasi yang terjebak dan tidak bisa mengambil keputusan. Dengan perasaan sabar aku menghadapi seluruh sikapnya, namun itu tidak merubah apapun.
Hal yang terjadi justru sebaliknya. Di luar dugaanku. Ia menikah dengan orang lain. Tepatnya mereka saling mengenal hanya satu minggu lebih. aku hanya menikmati kekacauanku kala itu. air mata takan mendatangkan kesempatan lagi. kebencian terhadap papa juga takan merubah apapun. Semuanya telah selesai. Dan aku menikmati kekacauan ini dengan segelak tawa.
“Hei,,, (menepis lenganku) kamu dengar nggak sih! Aku ngomong panjang lebar dari tadi”
"...." aku hanya menoleh kearahnya 
"Jangan bilangkamu tidak mendengarnya"
“Yoga…amazing story, I haven’t the words wisest  for your story. But, you wise enough to live your life”Kataku sambil terkagum kagum dengannya. 
   Bagaimana aku akan membuat kesimpulan terhadap kehidupan, sementara kehidupan ini tak berujung kecuali kematianlah ujungnya. Ada yang mampu berlayar untuk menemukan tujuan dengan arus kehidupan. Ada pula yang terlibas dan hanya menjadi budak kehidupan. Itulah mengapa orang orang disekeliling kita memiliki arti kadang setelah mereka jauh dari kita. Namun ketika keberadaanya disisi kita seolah kita digelap matakan oleh situasi. Kita mengabaikanya, tak perduli bahkan menyakitinya. 
 
 END

  

You Might Also Like

0 komentar