Kami tak saling mengenal dengan baik. Bahkan kami buta akan latar belakang satu sama lain. Hanya bertemu beberapa kali setelah dongeng malam itu. setiap kali kami bertemu selalu ada waktu untuk saling berbagi cerita.
Ada hal yang tidak aku menyadarinya
tetapi ia melihatku dari hal tersebut. Tak pernah ada pertemuan sebelumnya
antara aku dan dia namun ceritanya mengalir. Ia bercerita seperti sedang
mengadu perasaan kepada teman sebelahnya. Ia, itu aku. Setelah lama kedua
orangtuanya bercerai tempat tinggalnya menjadi tak jelas. Semasa usianya ia
tinggal bersama pamanya. Ia pun menyadari kesan tinggal dirumah yang bukan
orangtua, tak begitu banyak kasih sayang yang diperoleh dari keluarga pamanyaa.
Justru kadang kadang sebaliknya.
“Sejak
SMP aku sudah mulai bekerja sampingan, sampai aku wisuda pun aku masih kerja
sampingan” tandasnya
Aku menoleh kearahnya, dan membuang
muka lagi. Tak banyak respon dariku. Sementara ini aku masih menjadi pendengar
setia.
Setelah aku lulus kuliah, aku
tinggal bersama mamahku. Tetapi, tak lama setelahnya papaku memintaku untuk
pulang kerumahnya. Dengan segala alasanya ia gunakan untuk dapat menarikku
tinggal dirumahnya. Akhirnya aku terpaksa keluar dari pekerjaanku dan aku
pulang kerumah papahku. Entah papahku menyadarinya atau tidak, terkadang
aku jarang pulang kerumah. Anggap saja aku tidak betah tinggal di rumah real estate. karena itu, aku lebih
sering pulang kerumah eyangku. Beliau adalah satu satunya teman curhat yang
paling nyaman bagiku untuk melepas penatnya menahan lelah. Jarang beliau bertanya
apa masalahku, namun beliau hanya mendengarkan cerita dan keluh kesahku.
Kian dari hari hari, aku mulai
bergaul bersama orang orang dengan kehidupan serba bebas. Aku merasa nyaman
dengan mereka. pernah berpikir kalau aku akan menjadi bagian dari mereka yang
telah menyerah terhadap kehidupan, mereka telah bersedia menjadi budak
perkembangan zaman. Siapa yang perduli. Papahku? Kurasa seluruh pikiranya terkuras
hanya untuk memikirkan bagaimana cara, agar bisnisnya tetap jalan. Dan aku
hidup sesuka hatiku. Sering kali ketika pulang dari jalan dengan teman temanku,
di jam pagi, bahkan tidak pulang pun tidak jadi masalah. Aku merasakan
kebebasanku lebih membawa makna kepadaku. Sekalipun hanya satu persen makna
yang kuperoleh aku tetap menikmatinya.
Selama aku hidup dijalan, tunggang
langgang. Banyak pengalaman getir sampai berbahaya pernah kutemui. Dan anehnya sampai sekarang hidupku masih
baik baik saja. Pernah memiliki cita cita mati lebih cepat, agar aku bisa
istirahat dengan tenang. namun bukan dengan bunuh diri. Bagiku itu terlalu hina
untuk seorang pujangga mati dengan cara bunuh diri. Sepertinya cita cita itu
belum terwujud sampai sekarang. Entah kepada
siapa aku harus melihat, karena aku rasa semua orang yang aku butuhkan telah
memiliki kehidupan mereka masing masing.
Papahku? Entah apa kabar bisnisnya. terlalu
pengecut rasanya kalau hanya menyalahkan sepihak saja. Inilah bentuk takdir
yang tengah dituliskan kepada pria malang sepertiku. Inilah bentuk kepasrahanku
terhadap hidup. Aku dilahirkan hanya untuk menyaksikan betapa hebatnya
kehidupan rumah tangga keluarga yang telah pecah ini. dan selama hidupku aku
tak pernah terlalu banyak menuntuk kepada kedua orangtuaku. sebagai bentuk rasa
pengertianku kepada kedua orangtua yang kini telah sama sama memiliki keluarga
baru.
Aku tak perduli, bagaimana orang
menilai kehidupanku. Karena bagiku, hidupku sendiri tidak pernah memiliki
nilai. Waktu itu, aku pernah memiliki seorang kekasih. Ia cukup baik dan
mengerti dengan kondisiku. Kuanggap dia menerimaku apa adanya, hubunganku
denganya berjalan empat tahun lamanya. Maka satu satunya orang yang membuatku
terus untuk bertahan menjalani kehidupan dan semangat dalam hal pekerjaan
adalah ia, orang yang kusebut sebagai kekasih. Wajar saja seusia kami yang sama
sama sudah dewasa ini, ia menuntut untuk jenjang hubungan yang lebih serius.
aku pun juga meras demikian. Tidak mungkin aku akan terus menjalani hubungan
tanpa komitmen begini.
Aku meminta izin kepada papahku,
perkara kelanjutan hubunganku dengan kekasihku. Namun, sayang papaku menolak
keras lantaran kami belum memiliki kehidupan yang mapan, kala itu , ia yang
saat ini menjadi mantan kekasihku. Belum memiliki pekerjaan setelah ia selesai
wisuda. Sambil menunggu dirinya mendapat pekerjaan kami berdua harus lebih
bersabar. Tetapi dalam jangka satu tahun ia belum juga mendapat pekerjaan. Ia semakin
mendesakku untuk menikah, namun aku tak bisa berbuat apa apa selagi kartu
hijauku belum keluar. Kami menjadi sering berantam, ia sering marah tanpa alasan yang jelas kepadaku.
Aku sendiri kualahan dalam situasi yang terjebak dan tidak bisa mengambil
keputusan. Dengan perasaan sabar aku menghadapi seluruh sikapnya, namun itu
tidak merubah apapun.
Hal
yang terjadi justru sebaliknya. Di luar dugaanku. Ia menikah dengan orang lain.
Tepatnya mereka saling mengenal hanya satu minggu lebih. aku hanya menikmati
kekacauanku kala itu. air mata takan mendatangkan kesempatan lagi. kebencian
terhadap papa juga takan merubah apapun. Semuanya telah selesai. Dan aku
menikmati kekacauan ini dengan segelak tawa.
“Hei,,, (menepis
lenganku) kamu dengar nggak sih! Aku ngomong panjang lebar dari tadi”
"...." aku hanya menoleh kearahnya
"Jangan bilangkamu tidak mendengarnya"
“Yoga…amazing story, I haven’t the words wisest for your story. But, you wise enough to live your life”Kataku sambil terkagum kagum dengannya.
Bagaimana aku akan membuat kesimpulan terhadap kehidupan, sementara kehidupan ini tak berujung kecuali kematianlah ujungnya. Ada yang mampu berlayar untuk menemukan tujuan dengan arus kehidupan. Ada pula yang terlibas dan hanya menjadi budak kehidupan. Itulah mengapa orang orang disekeliling kita memiliki arti kadang setelah mereka jauh dari kita. Namun ketika keberadaanya disisi kita seolah kita digelap matakan oleh situasi. Kita mengabaikanya, tak perduli bahkan menyakitinya.
"...." aku hanya menoleh kearahnya
"Jangan bilangkamu tidak mendengarnya"
“Yoga…amazing story, I haven’t the words wisest for your story. But, you wise enough to live your life”Kataku sambil terkagum kagum dengannya.
Bagaimana aku akan membuat kesimpulan terhadap kehidupan, sementara kehidupan ini tak berujung kecuali kematianlah ujungnya. Ada yang mampu berlayar untuk menemukan tujuan dengan arus kehidupan. Ada pula yang terlibas dan hanya menjadi budak kehidupan. Itulah mengapa orang orang disekeliling kita memiliki arti kadang setelah mereka jauh dari kita. Namun ketika keberadaanya disisi kita seolah kita digelap matakan oleh situasi. Kita mengabaikanya, tak perduli bahkan menyakitinya.
END
0 komentar